“Aku akan memakanmu!” sebuah sosok yang melekat di tembok putih mengancam Anak Beruang.
“Siapa kamu?” tanya Anak Beruang terkejut.
“Aku adalah sisi gelapmu!”
Anak Beruang terkesiap. Sosok itu memang mirip sekali dengannya. Bedanya, ia hitam dan tak berwajah.
“Salah aku apa?” tanya Anak Beruang dengan suara gemetar.
“Aku ingin memakanmu karena aku lapar, bukan karena kamu berbuat salah!”
“Kenapa harus makan aku? Makan madu saja,” kata Anak Beruang hampir menangis.
“Aku tidak suka madu. Aku lebih suka makan sisi terangku. Kamu!”
Anak Beruang mundur beberapa langkah, tapi sisi gelap mengikuti. Ia merosot dari tembok kemudian telentang di dekat kaki Anak Beruang. Ketika Anak Beruang mundur selangkah lagi, si sisi gelap seakan membelit kaki Anak Beruang. Anak Beruang mendadak merasa tak bisa bergerak ke mana-mana. Nafasnya naik-turun cepat sekali. Lalu ia mulai menangis. Betul-betul menangis.
Bahu Anak Beruang bergerak-gerak karena ia mulai terisak.
Bahu sisi gelap Anak Beruang juga bergerak-gerak, tapi ia tidak terisak. Ia tertawa-tawa penuh kemenangan.
Sisi gelap Anak Beruang terus memepet Anak Beruang. Ia sempat menghilang ketika Anak Beruang bersembunyi di bawah pohon beringin. Tetapi ketika Anak Beruang meninggalkan pohon, tiba-tiba ia muncul kembali.
Sisi gelap Anak Beruang juga sempat menghilang waktu Anak Beruang terjun ke sungai. Tetapi ketika Anak Beruang keluar dari sungai, ia muncul kembali. Wujudnya masih hitam dan tak berwajah, tapi kali itu terlihat lebih besar, acak-acakan, dan kemonster-monsteran.
“Pergi!” usir Anak Beruang.
“Tidak mau!”
“Pergi!” gebah Anak Beruang sambil berlari.
“Tidak mau!” tolak sisi gelap Anak Beruang sambil mengejar.
“Pergi! Pergi! Pergi!” usir Anak Beruang sambil berlari lebih cepat.
“Tidak mau! Tidak mau! Tidak mau!” tolak sisi gelap Anak Beruang sambil berlari sama cepatnya dengan Anak Beruang.
Anak Beruang terus berlari dan berlari dan berlari hingga sampai di sebuah kebun ceri. Ia bersembunyi di antara juntaian ceri sambil menangis. Ia merasa lelah, takut, dan tak tahu harus pergi ke mana lagi. Sisi gelap Anak Beruang hilang di antara pohon-pohon ceri. Meski begitu, Anak Beruang tahu, sisi gelap tidak betul-betul pergi. Jika Anak Beruang keluar dari antara pohon ceri, ia pasti muncul kembali.
Angin bertiup penuh keyakinan namun lembut seperti busa es krim. Sepasang ceri yang terbuat dari kaca sayup-sayup berdenting. Hei! Ceri dari kaca? Anak Beruang menyeka air matanya. Ia tengadah mencermati nyanyian si ceri kaca,
Bayang-bayang s'lalu mengikuti
walau tak mungkin menerpa …
walau tak mungkin menerpa …
Ceri kaca berayun-ayun ringan sesuai irama sambil mengulang-ngulang bait itu. Anak Beruang segera hafal dan dapat ikut bernyanyi juga. Mula-mula setengah suara. Lama-lama lebih lantang. Ia ikut berayun-ayun dan sebentar saja menjadi sedikit lebih riang.
“Sisi gelap tidak akan memakanmu, Anak Beruang,” denting si ceri kaca.
Anak Beruang berhenti menyanyi.
“Bisa menggigitmu saja tidak,” lanjut si ceri kaca.
Anak Beruang meraba kembali jejak perasaan dan pengalamannya. Sejak tadi, ia begitu takut karena si sisi gelap sudah begitu dekat. Tetapi sisi gelap memang tidak melakukan apapun yang melukainya. Jika memang sangat lapar, seharusnya si sisi gelap sudah memakan Anak Beruang sejak tadi. Tapi toh tidak. Sisi gelap memang tak dapat melakukan apa-apa kecuali menghantui. Lagipula seharusnya si sisi gelap tahu, memakan Anak Beruang artinya memakan dirinya sendiri.
“Aku ajari lanjutan lagu ini, ya,” denting si ceri kaca lagi.
Anak Beruang mengangguk-angguk.
Kejar, kejar tak akan tertangkap diri
Melintasi rasa takut tadi …
Anak Beruang menyanyikannya. Ia mengerti. Menyanyikan lagu itu membuatnya tidak takut lagi,
Bayang-bayang s'lalu mengikuti
Walau tak mungkin menerpa
Walau tak mungkin menerpa
Kejar, kejar tak akan tertangkap diri
Melintasi rasa takut tadi …
“Sekarang pulanglah. Tunjukkan pada sisi gelapmu bahwa kamu yang seutuhnya tidak bisa ditaklukkan,” ujar si ceri kaca. Anak Beruang mengangguk-angguk riang. Ia melompat keluar dari antara ceri dan bertemu lagi dengan sisi gelapnya.
“Kamu pikir aku sudah pergi?” tanya si sisi gelap.
“Kamu pikir aku masih takut?” Anak Beruang balik bertanya.
Anak Beruang berlari-lari pulang dan sisi gelap masih terus mengikuti. Tapi kali itu Anak Beruang tidak peduli.
Meski masih menggantung di pohonnya, denting si ceri kaca terbawa angin, mengikuti Anak Beruang pulang. Mengikuti sisi gelap Anak Beruang; bayang-bayang.
Melambung
lagu kian menari
riang jauhi langkahmu kian lamban
bayangmu yang kian sirna
lagu kian menari
riang jauhi langkahmu kian lamban
bayangmu yang kian sirna
… dan Anak Beruang menutupnya dengan bernyanyi kuat-kuat sambil melompat-lompat,
Kejaaar, kejaaaar, tak akan tertangkap diri melintasi rasa takut tadiiiii …
Sundea
*”Langkah Peri” adalah lagu Cherry Bombshell yang dipinjam Sundea untuk cerita ini.
Klik di sini untuk mendengarkan lagu “Langkah Peri”
Karena sang ilustrator merasa nama aslinya kurang ngartis dan seperti penyanyi gereja, kita sebut saja ilustrator ini Rhoma Irama. Lulusan arsitektur Unpar dan desain ITB yang pernah mempunyai studio ilustrasi ini kini bekerja di Jakarta. Karena Rhoma merasa membutuhkan stimulus untuk menggambar lagi, Dea mengajaknya berkolaborasi. Meski sempat terjadi kebingungan karena kami punya kebiasaan dan prinsip berkarya yang berbeda, hasilnya lumayan juga kan? Bagaimana menurut Teman-teman? =D
Komentar