Chupa Chups Tiga Rasa yang Mengumpulkan Barang Bekas

Ia muncul tiba-tiba di depan pagar rumah Daud, teman saya. Tampilannya mengingatkan saya kepada Chupa Chups (permen loli) rasa cokelat-vanilla-strawberry. Sebelum saya sempat mencerna kehadirannya, ia sudah lebih dulu menangkap kehadiran saya.

“Neng, punya barang bekas?”
“Eh … euh …”
“Bibi ngumpulin barang bekas, Neng, apa aja, botol-botol, baju-baju, majalah,” dan begitu melihat Ricca, istri teman saya, muncul bersama bayinya, ia menambahkan, “Popok-popok bayi juga boleh.”
Ricca tersenyum ramah menanggapi, “Bayi saya pakai Pampers, Bu …”



Ternyata namanya Bi Ayi. Ia tinggal dekat kali, tak jauh dari rumah Daud dan Ricca di Arcamanik. “Saya mau punya cucu. Anak saya lagi hamil lima bulan, makanya kalau ada barang-barang bayi saya mau,” cerita Bi Ayi dengan senyum sumringah.

Meski tidak setiap hari, Bi Ayi kerap berkeliling ke mana-mana mendorong-dorong gerobaknya untuk mengumpulkan barang bekas. Tak hanya mengaduk-aduk tong sampah, ia tak pernah segan bertanya kepada pemilik rumah kalau-kalau ada barang yang tak terpakai. Jika hari raya tiba, ia juga tak sungkan menanyakan sisa-sisa makanan dari rumah ke rumah.


“Bibi, sih, apa aja mau, Neng. Makanya Neng ada nggak barang yang nggak kepake?” tanyanya lagi kepada saya.
“Yaaa … ada aja, sih, Bi, tapi di rumah. Aku kan ke sini main doang.”
“Neng rumahnya di mana?”
“Setiabudi.”
“Wah, jauh, ya, Neng …”

Tiba-tiba saja saya ingin memotret bibi berpenampilan Chupa Chups itu. Sebelum ia sempat mencerna mengapa saya mengeluarkan kamera dari tas, saya sudah lebih dulu menangkap gambarnya. 


“Wah, kok dipoto? Bibi malu …”
“Nggak apa-apa kan, Bi? Buat kenang-kenangan. Siapa tahu kita nggak akan ketemu lagi … hehehe …”

Ia akhirnya tersenyum saja, membiarkan saya memotretnya.

Setelah mendapat beberapa unit barang bekas dari teman saya, Bi Ayi pamit. Matahari cerah ceria jam sepuluh pagi mengiringi langkahnya. Cahaya yang bermain-main di sela rimbun pohon, teralis pagar, dan nuansa Chupa Chups Bi Ayi terlihat surealis. Setidaknya di mata saya.



“Si Bibi ini rutin dateng ke sini?” tanya saya pada Daud.
“Nggak tau, dia dateng sesukanya aja. Mau ditulis?” Daud balik bertanya.
“Nggak tau. Pengen aja gue foto-foto dan tanya-tanya.”

Meski memotret dan mengobrol dengan Bi Ayi murni terjadi karena dorongan spontanitas dan intuisi, pada akhirnya saya memang menuliskannya. Ia pun menjadi “bukan artis” di Salamatahari edisi 80 ini: “Membeli Mimpi”.

Saya tidak sempat bertanya secara gamblang apa yang Bi Ayi impikan dan akankah ia membelinya. Tetapi apakah perlu jika dia adalah mimpi itu sendiri?

Ia datang tiba-tiba. Singkat. Surealis. Menggelitik banyak hal di bawah alam sadar.

Sundea

Komentar