Sapu Lidi Pak Mu’min


Sinar matahari pagi membelah jalan raya yang masih sepi. Di antara klakson angkot dan deru kedaraan yang melintas sekali-sekali, konsisten terdengar suara rumpun lidi yang menggesek aspal : srek … srek … srek … 



Menyapu bisa menjadi sesuatu yang sangat personal. Setiap orang mempunyai caranya sendiri-sendiri. Pagi itu, pada hari ke dua di tahun 2011, baru saya sadari bahwa selama bertahun-tahun saya mendengar gesekan sapu lidi dengan irama yang sama, ketukan yang sama, dan panjang tarikan yang sama. Konsistensi itu membuat telinga saya mengenalnya dengan baik namun luput mencatatnya. Spontan saya berlari keluar rumah. 




“Selamat tahun baru, Pak …”
“Selamat tahun baru …”
“Boleh, nggak kita ngobrol-ngobrol sambil Bapak nyapu? Saya kepingin nulis tentang Bapak …”
“Oh, boleh, boleh …”


Namanya Pak Mu’min. Sudah dua puluh enam tahun ia menjadi penyapu yang bertugas di sepanjang Jalan Siliwangi. “Dari sini saya nyapu ke Simpang, teruuuus … sampai ke Cikapundung. Mulainya dari jam 5 pagi,” papar Pak Mu’min. Laki-laki asal Cililin itu kini sudah berusia empat puluh delapan tahun. Mungkin sudah menjadi kakek. “Anak saya yang paling besar kelahiran taun 88. Sudah menikah,” ungkapnya bungah.


Sebagai seseorang yang hanya mencecap pendidikan sampai tamat Sekolah Dasar, Pak Mu’min tak punya banyak pilihan lapangan kerja. Itu sebabnya ia bersetia pada profesinya sebagai penyapu jalan. “Kalau ditanya suka-dukanya, sih, banyakan dukanya. Gaji saya kecil. Tapi suka-duka kembali kepada diri kita, bagaimana kita menyikapinya,” ujar Pak Mu’min arif. Saya tersenyum.  

Mengenai sapu lidinya, Pak Mu’min mempunyai perumpamaan menarik, “Ibaratnya orang kantoran pakai alat tulis, saya pakai sapu lidi.” “Terus Bapak pengen bilang sesuatu nggak sama sapunya?” tanya saya. “Bilang sesuatu? Gimana ngomong sama sapu lidi?” tanyanya sambil menatap sapunya kebingungan. Saya tergelak.
Suara sapu Pak Mu’min menggesek jalan raya. Sesekali berhenti ketika ia harus mengangkut sampah yang telah terkumpul atau menanggapi orang-orang lewat yang bulak-balik menanyakan jalan. Sebagai seseorang yang setiap hari bertugas di sana, Pak Mu’min tentu mengenal sepanjang jalan Siliwangi dengan sangat lekat. 

 

“Punya harapan apa di taun 2011 ini, Pak?” tanya saya. “Gaji saya naik,” jawabnya singkat, separuh berseloroh. Saya tertawa. “Bapak nama panjangnya siapa, Pak?” tanya saya lagi. “Mu’min. Itu aja,” lagi-lagi ia menjawab dengan singkat. 

Pak Mu’min adalah seseorang dengan nama yang ringkas. Masa pendidikan yang tidak panjang. Harapan sederhana. Dan tubuh yang tidak jangkung.

Tetapi “srek-srek-srek” sapunya adalah lagu panjang tentang sebuah perjalanan …

Sundea

Komentar