Alumnus Pemadam Kebakaran di Lapangan Hijau

Pada suatu pagi di Hari Pahlawan, lapangan stadion Persib lengang dan sepi. Rumput tumbuh jangkung. Seorang bapak menyusuri lapangan, menyiangi dan mencangkul.

“Selamat pagi,” sapa saya. “Selamat pagi, Mbak,” sahutnya ramah. “Udah lama, Pak, kerja di sini?” tanya saya lagi. “Baru satu bulan. Satu Oktober saya mulai,” sahutnya lagi.

Namanya Pak Hartono. Usianya 45 tahun. Sejak tahun 1991 ia bekerja sebagai pasukan di Dinas Pemadam Kebakaran. Setelah sekitar sembilan tahun mengabdi di sana, Pak Hartono mengajukan permohonan untuk dipindahkan. “Saya butuh penyegaran, Mbak. Di sana risikonya tinggi. Kita harus selalu sudah siap tempur,” ujarnya.



Maka ditempatkanlah Pak Hartono di Sarana Olahraga Persib bagian kebersihan. “Kerasan, Pak?” tanya saya. “Kerasan. Di sini lebih tenang. Senang juga kadang-kadang bisa lihat yang latihan bukan hanya dari tv,” kata Pak Hartono sambil memungut sampah-sampah plastik yang berserakan. Kendati begitu, ia mengaku bukan penggemar berat sepak bola. Kadang ia bahkan sering bimbang memihak tim mana saat pertandingan berlangsung. “Saya dari Jakarta, istri saya yang orang Bandung. Tapi aslinya saya ini Sunda-Jawa. Anak saya yang laki-laki, yang paling kecil, yang Viking. Gemar sekali dia,” papar Pak Hartono sambil tertawa.


Setiap hari, mulai pukul sembilan pagi, Pak Hartono datang ke stadion untuk membersihkan lapangan, mencangkul, dan memangkas rumput. “Rumput tumbuhnya cepet, Mbak, apalagi kalau dikasih ujan,” kata Pak Hartono sambil terus menyusuri sisi-sisi lapangan. Melihat ia sibuk menyiangi, saya berhenti mengintili dan bertanya macam-macam. Pada akhirnya saya duduk di pinggir stadion sambil mengamati Pak Hartono bekerja.

Di luar televisi, lapangan Persib terasa teduh dan meditatif. Tidak ada gegap penonton atau gempita pertandingan. Kupu-kupu putih mengitari rumput-rumput. Kicau burung yang entah dari mana datangnya menyentuh telinga. Angin menerpa rambut dan kulit saya. Dan di seputar lapangan, seorang mantan pasukan pemadam kebakaran telah terbiasa menjadi air yang memadamkan api, sejuk dan jernih.

Hari itu tidak ada yang kalah ataupun yang menang. Pada hari pahlawan, rumput dan sampah menyerahkan diri pada peraturan tanpa perlawanan …

Sundea

Komentar