Kereta-kereta Belanja di Pelataran Super Indo














Kereta belanja menampung segalanya, namun tak pernah memiliki apa yang dibuainya. Semua yang mereka dekap akan dihantar ke kasir kemudian dibawa oleh orang-orang yang selalu asing. Pada akhirnya mereka akan kembali kosong. Menanti petualangan singkat baru mengelilingi swalayan. 

“Saya Risma.”
“Saya Ina, kakaknya Risma.”
“Saya Jepri.”
“Saya Ade.”
“Itu Iman.”
“Ilman !”
“Bukan, nama saya teh Firman !”
Saya tergelak.
ki-ka: Firman, Ade, Jepri, Risma, Ina

Meski kerap memasang wajah memelas yang dibuat-buat saat menjajakan koran, pada dasarnya anak-anak tetap anak-anak. “Hobi kalian apa, sih ?” tanya saya. “Main!” sahut mereka hampir bersamaan. “Saya mah suka pesbuk, soalnya ada Point War,” kata Firman yang langsung diakuri oleh Jepri. “Saya sukanya ke tetangga, main beberbian (Barbie),” ujar Risma “Saya sukanya ke Bogor, soalnya bisa mancing,”ujar Ade. “Saya ke Sumedang! Ada gogok (anjing), dia pernah dikejar,” Ina menunjuk Firman.

Setiap hari, sekitar pukul satu siang hingga delapan malam, bocah-bocah ini berjualan di pelataran Super Indo Dago. Kerabat Ina dan Rismalah yang mengambil koran dari pusat kemudian membagikannya kepada mereka. “Seru, nggak, sih, jualan koran?” tanya saya. “Seneng, kalau dapet uang,” sahut Firman. “Uangnya dibelikan koin buat main itu,” timpal Ina sambil menunjuk arena bermain di dalam Super Indo. “Saya udah jualan koran dari masih bayi,” celetuk Risma. “Bayi mah nggak bisa jual koran, atuh! Dari TK!” Ina mengoreksi adiknya. Lagi-lagi saya tergelak. 

arena bermain di Superindo

Di luar rintihan mengiba yang selalu mereka jajakan bersama koran, ada keceriaan gratis yang sesungguhnya mereka bagi-bagikan tanpa sadar. Susul menyusul mereka bercerita tentang kampung mereka di Sumedang, Bogor, teman-teman yang menyenangkan, serta level Point of War dan Restaurant City yang telah mereka capai. Firman dan Ade bahkan sempat memamerkan atraksi sulap dengan sobekan kertas kepada saya. Entah di mana letak sulapnya, tetapi sesuatu yang magical membuat saya tak dapat menahan senyum.
sulap ala Firman dan Ade

“Kamu pada tinggal di Bandung semua?” tanya saya. “Enggak, saya mah di Sukajadi,” sahut Risma. “Rismaaa, Sukajadi teh Bandung !” dengan gaya sok dewasa Ina mengoreksi adiknya. Saya tergelak lagi. “Pulangnya barengan?” tanya saya. “Nunggu dijemput. Kalau nggak dijemput ya diem weh di sini,” kata Risma ringan. Saya tahu-tahu terdiam.

“Kalian tau cerita Peter Pan? Bukan Ariel Peterpan, ya, ini Peter Pan yang tinggal di Neverland, tempat orang bisa jadi anak-anak selamanya,” tutur saya. “Itu beneran, Teh? Selamanya? Nggak akan dewasa-dewasa?”tanya Firman antusias. Sebelum saya sempat menjawab, seorang anak lain tahu-tahu melintas sambil melirik sigap, “Ayo, kerja, kerja!” Lima bocah kecil yang mengelilingi saya segera berdiri. Berpencar mencari orang yang baru datang atau akan pulang. Kembali menjajakan koran dengan rintihan-rintihan mengiba yang dibuat-buat.

Roda kereta belanja menggelinding menggilas aspal. Mereka mendekap apa yang tak pernah mereka miliki, namun justru memiliki raya udara yang tak pernah mereka dekap …
Sundea

Komentar

pagikotaku mengatakan…
gw suka banget analogi2 lu de d sini.. rada2 sedih ya, tp keren..
salamatahari mengatakan…
Iya, emang sedih, Nyet. Apalagi kalo langsung ada di TKP. Ngeliat perubahan perilakunya; dari anak2 yg ceria ke akting memelas-memelas itu ...
nando.gino mengatakan…
lol,,dgn rintihan mengiba yg dibuat2. Seneng banget kalo baca tulisan2 diblog ini. Sedikit menggelitik tapi penuh makna.

Mengenai anak2 itu, sya justru lbih senang yg sperti mreka. Setidaknya mreka bekerja untuk mndapatkan sesuatu, tidak hanya sekedar minta. Bisa jadi pembelajaran buat anak-anak jaman sekarang yg manja, minta beli ini itu ke ortu.
salamatahari mengatakan…
Mereka emang keren banget, Nan ... dan dramatis ... Dea nggak pengen nge-judge gimana2, sih, tapi ngeliat mereka bikin Dea ngerasain sesuatu yg aneh di antara jantung sama perut ...
BeluBelloBelle mengatakan…
Tetep dramatis dari dulu sampai sekarang de...baca tulisan ini jadi inget jaman2nya saya mewawancara yg kayak gini di pelataran KFC - Merdeka dulu....

Ada yang rumahnya di TPS, tapi seneng banget pergi ke sekolah dan keterbatasan...jadi ya mereka jual koran.

Hehehe seneng baca artikel ini, btw.
:)