Membumi

-Bentara Budaya, Kamis 6 Mei 2010-


Kulkul ditabuh. Nama band jazz eksperimental yang berarti kentongan Bali tersebut, melempar ruh mereka ke udara; mengundang massa secara ajaib. Alam berseremoni secara halus, namun cukup sabar untuk melata diam-diam menuju pendengar dan calon pendengarnya.

Saya percaya, sesuatu yang magical di hari keseimbanganlah yang mengantar saya ke Bentara Budaya. Tahu-tahu telinga saya disentuh oleh Kulkul, sebuah band yang saya kenal on the spot. Terdiri dari lima musisi muda; Demas Narawangsa (drum), Sigit Aditya (violin), Adman Maliawan (bass), Faisal Fasya (gitar), RM Aditya Andrianto (keyboard) dan empat pemusik tradisional Bali dari sanggar Saraswati pimpinan I Gusti Kompyang Raka, kemistisan musik tradisional Bali hadir dalam bahasa yang membumi ; jinak, namun tidak kehilangan kemerdekaan spiritualnya yang ekspresif. 


Selain komposisi-komposisi dinamis seperti Bali Dance dan Uluwatu, Kulkul pun membawakan sebuah komposisi sendu, Chandra. “Yang punya pasangan, silakan dekat-dekat dengan pasangannya,” pesan Awan sang basis. 

Sigit Aditya lalu mulai menggesek biolanya. Dipantulkan udara, bunyi biola yang pucat seperti warna bulan berkumandang, terlontar ke angkasa seperti doa. Mengikuti arah lagu, saya tengadah. Candra sedang absen. Mungkin diam-diam ia pun membumi, meleleh bersama sentimentalitas yang merengkuh Bentara Budaya malam itu. 

Sembilan adalah angka mistis. Ia yang merupakan bilangan tertinggi dipercaya melambangkan puncak. Malam itu rencananya Kulkul hanya membawakan sembilan komposisi, namun permintaan pemirsa membuat mereka kembali ke panggung dan membawakan lagu tambahan; membilang lagi dari satu dan nol.
Teman-teman, bulan April lalu Kulkul baru saja meluncurkan album bertajuk Welcome to Bali. “Welcome” adalah sapaan yang membumi. Di sana ada sambutan hangat untuk keputusan mendarat bagi yang telah lelah terbang …

Sundea

Komentar