Namanya Anita. Tidak cemerlang seperti nama majalah. Tubuhnya kurus, rambutnya tipis, matanya merah tercolok air hujan. Malam itu ia yang mengenakan blus bunga-bunga dan mendekap bunga-bunga berjualan bunga di seputar Jalan Dago, Bandung.
“Anita ini bunganya dari mana, sih ?” tanya saya. “Nggak tahu, mama. Saya, sih, cuma ngejualin aja,” sahut gadis berusia sembilan tahun itu. “Kamu berapa bersaudara ?” tanya saya lagi. “Enam belas,” sahut Anita lagi. “ENAM BELAS ? Wooow … yang jualan bunga berapa orang ?” lagi-lagi saya bertanya. “Saya sendiri. Yang lainnya ada yang jadi supir, ada yang kerja di Bengkulu, ada yang udah punya suami, Kalau Si Uloh ngamen. Dia malu jualan bunga soalnya laki-laki,” papar Anita. “Kamu inget, nggak, nama saudara-saudara kamu lima belas-lima belasnya ?” tanya saya iseng. “Inget. Yang pertama Fatmawati, terus Nia, Kokom, Nur, Jamil, Yati, Jahit, Idin, Uloh, Mus, abis itu saya, Mutakhin, Muhlisin, Soleh, Mukti, sama Rhamdan. Saya paling akrab sama Ramdhan soalnya paling kecil, umurnya tiga tahun,” cerita Anita. Kasih dan kehangatan mengilas di matanya.
Anita lalu menceritakan pengalaman yang paling diingatnya selama berjualan bunga, “Bunga saya kan harganya lima belas ribu. Orang nawarnya lima ribu, padahal uangnya nanti dibagi dua lagi sama mama. Terus saya udah lari-lari di lampu merah, tetep aja bunganya ditawarnya lima ribu,” sungut Anita. “Hmmm … gini, deh, gimana kalau bunga kamu saya beli ? Tapi kamu yang milihin. Menurut kamu paling bagus yang mana ?” pinta saya. Anita segera memilihkan sekuntum mawar putih untuk saya.
“Kamu paling suka yang ini ?”
Anita mengangguk.
“Kenapa ?”
“Bagus aja,”
“Ya udah, kalau gitu bunga ini buat kamu aja, nih …”
Anita menggeleng, “Nggak, jangan, dibawa aja sama Teteh, kalau di saya nanti kejual lagi.”
Saya terkesiap.
Mawar putih adalah lambang kesucian dan kemurnian. Di beberapa daerah ia melambangkan hormat dan harapan. Ada juga yang menyebutnya lambang awal dan perpisahan sekaligus.
Anita pergi sambil menghitung sisa bunga. Punggungnya pelan-pelan ditelan jarak. Ia tidak cemerlang seperti majalah. Tetapi tanpa perlu berkilau, mawar putih punya pesonanya sendiri.
Sundea
Komentar