Dengan caranya, Jakarta menyayangi kita. Sepanjang hari ia menjaga kita tetap hangat ; dengan angin yang bertiup seperti hair dryer, dengan matahari yang menyala-nyala, dengan kendaraan yang berbagi panas mesin di jalan, dan dengan temperamen masyarakat yang mendidih-didih.
Menjelang sore, segala panas Jakarta meleleh. Sebagai gantinya, penjual-penjual minuman hangat berkeliaran dengan sepeda. “Kring-kring-kring” belnya riuh berceloteh di sekitar Taman Menteng, Jakarta.
Psst … berikut adalah tiga di antara penjaja minuman yang berhasil Dea tanggap :
Lama berjualan : dua tahun
Pemuda yang satu ini santai dan cengegesan. “Nggak apa-apa, nih, Mas, lama di sini diajak ngobrol ?” tanya Dea. “Oh, nggak apa-apa, boleh,” sahuntnya sambil dengan senang hati berpose di hadapan kamera.
Mas Syamsul menikmati pekerjaannya sebagai penjaja kopi keliling. “Namanya koling atau piling,” selorohnya. Ia bekerja mulai pukul lima sore hingga dua belas malam. “Terus siangnya ngapain, Mas ?” tanya Em yang sedang bergaul juga di Taman Menteng. “Tidur … hehehehe …,” sahutnya. Hadeeeuh … anak muda jaman sekarang, ya …
Lama berjualan : hampir dua tahun
Dibanding Mas Syamsul, durasi kerja Mas Ahmad lebih panjang. “Saya keliling dari jam 5 sore sampai jam 3 pagi,” sahutnya. Mas yang satu ini lugu dan pemalu, terutama ketika Errithethird, teman yang juga ikut bergaul di Taman Menteng, iseng bertanya, “Pernah dapet pacar, nggak, Mas, dari jualan kopi ?” “Ya … belum. Nggak ada yang mau. Kalau dikasih kopi gratis, maunya kopinya doang,” papar Mas Ahmad miris-miris tersipu.
Hmmm … ada yang mau mencarikan Mas Ahmad jodoh ? Kelihatannya dia pria jujur dan sederhana yang rajin bekerja, lho …
Nama : Rizki
Lama berjualan : Hampir empat tahun
Sebetulnya Mas-mas ini paliiiing … menarik perhatian. Di punggung kotak kayunya tertulis “Cinta ta putus, kawin ta jadi” dan pada kaus hitamnya tersablon potongan lirik lagu Changcutters, “Bukan aku kepedean tapi aku adalah cowok idola idaman wanita. Emang gitu adanya, Coy !” Dea pun segera memanggil Mas Rizki.
“Buat apa, nih ?” tanya Mas Rizki curiga waktu Dea memintanya tinggal sebentar. “Saya mau wawancara Mas. Bentaaar … aja. Sambil beli susu jahe, deeehhh …,” Dea mencoba membujuk. Akhirnya Mas Rizki bersedia. Meski begitu, ia tampak gelisah dan ingin buru-buru pergi saja. Sambil memegang stang, ia berdiri di sisi sepedanya.
“Itu tulisan di belakang kotaknya kenapa begitu, Mas ?”
“Ya ada ajalah.”
“Yah … nggak mau curhat, Mas ?”
Menggeleng
“Kalau tulisan di kaosnya ?”
“Ini ?” bukannya menjawab, ia malah bertanya balik dan tidak melanjutkan dengan penjelasan.
“Mas maunya curhat sama termosnya aja, ya ? Sayang, ya, Mas sama termosnya ?”
“Ya sayang, soalnya 170 ribu.”
“Hmmm … “
“Saya mau keiling lagi, ya, belum dapet satu termos.”
Tiga penjaja kopi keliling dan karakternya masing-masing mewakili keberagaman Jakarta. Meski menghantar kehangatan yang sama, mereka hadir dalam berbagai wadah.
Dengan caranya sendiri, Jakarta menyanyangi kita. Sepanjang hari ia setia menjaga kotanya tetap hangat.
Sundea
Komentar
lucu ya cerita yg trakhir,,pdahal kl dibujuk lg kayanya mw curhat da....