Senen kemarin Dea nemenin sepupu Dea foto-foto pre-wedding. Beberapa waktu belakangan ini, pas udah mulai siang, Bandung pastiiii … ujan. Makanya kami berangkat subuh-subuh. “Kalo entar ujan, paling kita foto di studio YopI,” kata Natnat, tunangan sepupu Dea, pasrah.
Ternyata, Temen-temen, hari itu luaaaar … biasa. Ujan nggak turun setitik pun. Langit cerah, anginnya kooperatif, dan lembayung sorenya cantik. Foto-foto pre-wed berlangsung lebih lancar daripada yang dibayangin. “Tadinya gua pikir nggak ujan sampe jam 5 aja udah bagus banget,” kata Yopi, fotografernya. Karena nggak ujan, dia jadi sempet motret Benben (sepupu Dea) dan Natnat malem-malem di daerah Braga.
Jam setengah delapanan pemotretan selesai. Meskipun capek, kami pulang dengan hati senang dan bersyukur. Properti foto dan sendal-sendal kami tumpuk-tumpuk seadanya di dalem mobil.
Begitu nyampe di rumah Natnat, Dea baru sadar kalo sendal Dea yang biru ilang. “Keselip di kolong-kolong kali,” kata Natnat. Jadi kami nurun-nurunin barang sambil nyari sendal Dea yang ternyata … memang nggak ada.
“Mungkin tadi kesepak pas ada yang turun,” kata Dea sedih. “Mau diliat di tempat tadi Mbaknya turun ?” tawar Mansur, supir keluarga. “Mau,” saut Dea. Abis dari rumah Natnat, kami nyusurin pinggir-pinggir Gatot Subroto ngeliat kali-kali sendal biru Dea masih ada dan ternyata … memang udah nggak ada. Dea pulang dengan perasaan nggak lengkap. Kaki kiri Dea berpijak di sendal kuning, tapi kaki kanan Dea telanjang.
Sambil ngeliat keluar jendela mobil, Dea bersenandung, “Little Darling, it’s been a long cold lonely winter, little darling, it feels like years since it’s been here …” Udah bertaun-taun sendal kuning dan biru Dea berjalan bersama-sama. Malem itu tau-tau mereka kepisah. Sendal kuning yang cerah seperti matahari tetep tinggal, sementara si biru yang sendu seperti musim dingin pergi nggak tau ke mana. Mungkin dia jadi semacem upeti untuk kecerahan hari itu. Atau dia sekedar metafor dari mendung yang pergi dan matahari yang tinggal sepanjang hari.
“Here comes the sun, here comes the sun …,” Dea nyanyiin terusan lagu The Beatles itu. Mungkin emang iya, ya. Kalo gitu sandal biru Dea pergi untuk hal baik. Nggak ada cara yang lebih baik selain ngebiarin dia pergi dengan baik pula.
Dea ngeliat kaki Dea sendiri. Di satu sisi, kaki kanan Dea keilangan tempat berpijak, tapi di sisi lain, dia jadi memijak tanah tanpa perantara. Sekarang biru sendal Dea pun bisa baur sama biru-sendu lain di luar sana tanpa perantara. Biru dan kuning nggak selalu harus bersama di kaki Dea. Ada waktunya mereka berjalan sendiri- sendiri.
Begitu sampe di rumah, Dea markirin sendal kuning Dea di depan kamar mandi, di antara sendal-sendal lain yang masih sepasang :
“Here comes the sun, here comes the sun … and I say … it’s all right …”
Buat Natnat dan Benben. Hadiah pre-wedding dari Dea ^_^
Komentar
Nah.. benda yang punya keterikatan emosi dengan pembuat atau pemiliknya pun katanya akan memiliki sifat 'kehidupan' yang berbeda.. dengan kata lain.. dia bisa mencintaimu balik..
Inget ceritaku soal hijrah? Si biru mungkin sudah saatnya menjalani hijrah dia sendiri.. semoga dia memberi manfaat bagi siapapun yang menemukan..
Aku juga percaya itu dari dulu. Kayaknya Tante Yani sama aku banyak miripnya, ya ?
Minggu ini ada dua benda yg pamit dari aku, Ndit. Sendal sama si kamera. Senar gitar Galih juga ikut-ikutan. Aku yakin mereka udah janjian di suatu tempat.
... moksa mungkin ?
Tapi moga2 kebebasan ngasih sesuatu yg baik buat si sandal ...
@Benben : Sama2, Ben ... si sendal juga pasti seneng, kok ^_^ . Mungkin sekarang dia lagi cerita ke benda-benda lain tentang hari terakhirnya bertugas di kita ...