Pada suatu siang, sebuah truk pasir dateng ke Tobucil. Platnya bukan “D”, jadi kemungkinan besar dia dateng dari luar Bandung. Jalannya juga terhuyung-huyung. Pasti karena di baknya ada segunduk muncung pasir yang bikin dia kayak keberatan banget.
Si truk parkir di pekarangan Jln. Aceh no.56. Abis itu, Pak Supir dan temennya keluar dari mobil, ngebuka pintu bak dan … WURRRRR …. Si Pasir ngalir dari dalem bak. Dea meratiin gimana gundukan muncung itu aus, ngalir seperti pasir di jam pasir. Sebentar kemudian, truk jadi kosong. Pasir yang dia angkut dari jauh pindah ke atas batu-batu di pekarangan.
Setelah ngaso-ngaso sebentar, Pak Supir dan temennya kembali ke mobil untuk berangkat lagi. Kali itu si truk udah nggak terhuyung-huyung. Gundukan pasir yang ditinggal bikin punggungnya jauh lebih ringan. “Dia pasti ngerasa lega dan bahagia sekarang …,” pikir Dea.
Tapi … tunggu dulu. Dia kan truk pasir. Waktu jalan-jalan tanpa pasir, jangan-jangan ketrukpasirannya malah jadi nggak utuh. Lagian, setelah nempuh perjalanan jauh bersama, apa tanpa si pasir truk nggak jadi ngerasa sepi ?
Siang itu Dea jadi kepikir.
Untuk beberapa hal, mungkin lega dan hampa hampir nggak berbates.
Komentar
Bila saja mau membagi hati pada kehidupan..., berat beban hidup bisa diperumpamakan pada terhuyungnya pasir dan ringannya hidup ketika pasir menggelontor dari pantat truk.
Apa bener demikian?
Setelah tulisan ini dilempar ke alam raya, kan "pengarang telah mati" ... ;p
maksudnya apa dea? kalo berkomentar juga kam masih bisa...hehe